Mahabharata (Sansekerta: महाभारत) adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi.
Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama delapan belas hari.
Pengaruh dalam budaya
Selain berisi cerita kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata juga mengandung nilai-nilai Hindu, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama Hindu. Kisah yang semula ditulis dalam bahasa Sansekerta ini kemudian disalin dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti perkembangan peradaban Hindu pada masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara.
Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa.
Yang terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah satu yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwaha (Arjunawiwāha, perkawinan Arjuna) gubahan mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984) dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu raja Dharmawangsa.
Karya sastra lain yang juga terkenal adalah kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan raja Daha (Kediri) tersebut. Di luar itu, mpu Panuluh juga menulis kakawin Hariwangśa di masa Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah Gaţotkacāśraya di masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri.
Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya adalah Kŗşņāyana (karya mpu Triguna) dan Bhomāntaka (pengarang tak dikenal) keduanya dari jaman kerajaan Kediri, dan Pārthayajña (mpu Tanakung) di akhir jaman Majapahit. Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali.
Di samping itu, mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi berbagai bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, mulai dari seni patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang. Di dalam masa yang lebih belakangan, kitab Bharatayuddha telah disalin pula oleh pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa Jawa modern pada sekitar abad ke-18.
Dalam dunia sastera popular Indonesia, cerita Mahabharata juga disajikan melalui bentuk komik yang membuat cerita ini dikenal luas di kalangan awam. Salah satu yang terkenal adalah karya dari R.A. Kosasih.
Versi-versi Mahabharata
Di India ditemukan dua versi utama Mahabharata dalam bahasa Sansekerta yang agak berbeda satu sama lain. Kedua versi ini disebut dengan istilah "Versi Utara" dan "Versi Selatan". Biasanya versi utara dianggap lebih dekat dengan versi yang tertua.
Daftar kitab
Mahābhārata merupakan kisah epik yang terbagi menjadi delapan belas kitab atau sering disebut Astadasaparwa. Rangkaian kitab menceritakan kronologi peristiwa dalam kisah Mahābhārata, yakni semenjak kisah para leluhur Pandawa dan Korawa (Yayati, Yadu, Puru, Kuru, Duswanta, Sakuntala, Bharata) sampai kisah diterimanya Pandawa di surga.
Adiparwa
Kitab Adiparwa berisi berbagai cerita yang bernafaskan Hindu, seperti misalnya kisah pemutaran Mandaragiri, kisah Bagawan Dhomya yang menguji ketiga muridnya, kisah para leluhur Pandawa dan Korawa, kisah kelahiran Rsi Byasa, kisah masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kisah tewasnya rakshasa Hidimba di tangan Bhimasena, dan kisah Arjuna mendapatkan Dropadi.
Sabhaparwa
Kitab Sabhaparwa berisi kisah pertemuan Pandawa dan Korawa di sebuah balairung untuk main judi, atas rencana Duryodana. Karena usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan selama dua kali oleh Korawa sehingga sesuai perjanjian, Pandawa harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun dan setelah itu melalui masa penyamaran selama 1 tahun.
Wanaparwa
Kitab Wanaparwa berisi kisah Pandawa selama masa 12 tahun pengasingan diri di hutan. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah Arjuna yang bertapa di gunung Himalaya untuk memperoleh senjata sakti. Kisah Arjuna tersebut menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.
Wirataparwa
Kitab Wirataparwa berisi kisah masa satu tahun penyamaran Pandawa di Kerajaan Wirata setelah mengalami pengasingan selama 12 tahun. Yudistira menyamar sebagai ahli agama, Bhima sebagai juru masak, Arjuna sebagai guru tari, Nakula sebagai penjinak kuda, Sahadewa sebagai pengembala, dan Dropadi sebagai penata rias.
Udyogaparwa
Kitab Bhismaparwa merupakan kitab awal yang menceritakan tentang pertempuran di Kurukshetra. Dalam beberapa bagiannya terselip suatu percakapan suci antara Kresna dan Arjuna menjelang perang berlangsung. Percakapan tersebut dikenal sebagai kitab Bhagavad Gītā. Dalam kitab Bhismaparwa juga diceritakan gugurnya Resi Bhisma pada hari kesepuluh karena usaha Arjuna yang dibantu oleh Srikandi.
Dronaparwa
Kitab Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan Bagawan Drona sebagai panglima perang Korawa. Drona berusaha menangkap Yudistira, namun gagal. Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh Drestadyumna ketika ia sedang tertunduk lemas mendengar kabar yang menceritakan kematian anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu dan Gatotkaca.
Karnaparwa
Kitab Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karna sebagai panglima perang oleh Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana oleh Bhima. Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran antara mereka. Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17.
Salyaparwa
Kitab Sauptikaparwa berisi kisah pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama Kripa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa. Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa.
Striparwa
Kitab Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya.
Santiparwa
Kitab Santiparwa berisi kisah pertikaian batin Yudistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna. Mereka menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya sebagai Raja.
Anusasanaparwa
Kitab Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang Raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang.
Aswamedhikaparwa
Kitab Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Raja Yudistira. Kitab tersebut juga menceritakan kisah pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit yang semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri Kresna.
Asramawasikaparwa
Kitab Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh api sucinya sendiri.
Mosalaparwa
Kitab Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsa Wresni. Sri Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong. Atas nasihat Rsi Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan meninggalkan dunia fana.
Mahaprastanikaparwa
Kitab Mahaprastanikaparwa menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara tahta kerajaan diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan para Pandawa (kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan.
Swargarohanaparwa
Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia. Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.
RINGKASAN CERITA
Latar belakang
Mahabharata merupakan kisah kilas balik yang dituturkan oleh Resi Wesampayana untuk Maharaja Janamejaya yang gagal mengadakan upacara korban ular. Sesuai dengan permohonan Janamejaya, kisah tersebut merupakan kisah raja-raja besar yang berada di garis keturunan Maharaja Yayati, Bharata, dan Kuru, yang tak lain merupakan kakek moyang Maharaja Janamejaya. Kemudian Kuru menurunkan raja-raja Hastinapura yang menjadi tokoh utama Mahabharata. Mereka adalah Santanu, Chitrāngada, Wicitrawirya, Dretarastra, Pandu, Yudistira, Parikesit dan Janamejaya.
Para Raja India Kuno
Mahabharata banyak memunculkan nama raja-raja besar pada zaman India Kuno seperti Bharata, Kuru, Parikesit (Parikshita), dan Janamejaya. Mahabharata merupakan kisah besar keturunan Bharata, dan Bharata adalah salah satu raja yang menurunkan tokoh-tokoh utama dalam Mahabharata.
Kisah Sang Bharata diawali dengan pertemuan Raja Duswanta dengan Sakuntala. Raja Duswanta adalah seorang raja besar dari Chandrawangsa keturunan Yayati, menikahi Sakuntala dari pertapaan Bagawan Kanwa, kemudian menurunkan Sang Bharata, raja legendaris. Sang Bharata lalu menaklukkan daratan India Kuno. Setelah ditaklukkan, wilayah kekuasaanya disebut Bharatawarsha yang berarti wilayah kekuasaan Maharaja Bharata (konon meliputi Asia Selatan)[2]. Sang Bharata menurunkan Sang Hasti, yang kemudian mendirikan sebuah pusat pemerintahan bernama Hastinapura. Sang Hasti menurunkan Para Raja Hastinapura. Dari keluarga tersebut, lahirlah Sang Kuru, yang menguasai dan menyucikan sebuah daerah luas yang disebut Kurukshetra (terletak di negara bagian Haryana, India Utara). Sang Kuru menurunkan Dinasti Kuru atau Wangsa Kaurawa. Dalam Dinasti tersebut, lahirlah Pratipa, yang menjadi ayah Prabu Santanu, leluhur Pandawa dan Korawa.
Kerabat Wangsa Kaurawa (Dinasti Kuru) adalah Wangsa Yadawa, karena kedua Wangsa tersebut berasal dari leluhur yang sama, yakni Maharaja Yayati, seorang kesatria dari Wangsa Chandra atau Dinasti Soma, keturunan Sang Pururawa. Dalam silsilah Wangsa Yadawa, lahirlah Prabu Basudewa, Raja di Kerajaan Surasena, yang kemudian berputera Sang Kresna, yang mendirikan Kerajaan Dwaraka. Sang Kresna dari Wangsa Yadawa bersaudara sepupu dengan Pandawa dan Korawa dari Wangsa Kaurawa.
Prabu Santanu dan Dewi Satyawati, leluhur para Pandawa dan Korawa
Prabu Santanu adalah seorang raja mahsyur dari garis keturunan Sang Kuru, berasal dari Hastinapura. Ia menikah dengan Dewi Gangga yang dikutuk agar turun ke dunia, namun Dewi Gangga meninggalkannya karena Sang Prabu melanggar janji pernikahan. Hubungan Sang Prabu dengan Dewi Gangga sempat membuahkan anak yang diberi nama Dewabrata atau Bisma. Setelah ditinggal Dewi Gangga, akhirnya Prabu Santanu menjadi duda. Beberapa tahun kemudian, Prabu Santanu melanjutkan kehidupan berumah tangga dengan menikahi Dewi Satyawati, puteri nelayan. Dari hubungannya, Sang Prabu berputera Sang Citrānggada dan Wicitrawirya. Citrānggada wafat di usia muda dalam suatu pertempuran, kemudian ia digantikan oleh adiknya yaitu Wicitrawirya. Wicitrawirya juga wafat di usia muda dan belum sempat memiliki keturunan. Atas bantuan Resi Byasa, kedua istri Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika, melahirkan masing-masing seorang putera, nama mereka Pandu (dari Ambalika) dan Dretarastra (dari Ambika).
Dretarastra terlahir buta, maka tahta Hastinapura diserahkan kepada Pandu, adiknya. Pandu menikahi Kunti dan memiliki tiga orang putera bernama Yudistira, Bima, dan Arjuna. Kemudian Pandu menikah untuk yang kedua kalinya dengan Madri, dan memiliki putera kembar bernama Nakula dan Sadewa. Kelima putera Pandu tersebut dikenal sebagai Pandawa. Dretarastra yang buta menikahi Gandari, dan memiliki seratus orang putera dan seorang puteri yang dikenal dengan istilah Korawa. Pandu dan Dretarastra memiliki saudara bungsu bernama Widura. Widura memiliki seorang anak bernama Sanjaya, yang memiliki mata batin agar mampu melihat masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.
Keluarga Dretarastra, Pandu, dan Widura membangun jalan cerita Mahabharata.
Pandawa dan Korawa
Pandawa dan Korawa merupakan dua kelompok dengan sifat yang berbeda namun berasal dari leluhur yang sama, yakni Kuru dan Bharata. Korawa (khususnya Duryodana) bersifat licik dan selalu iri hati dengan kelebihan Pandawa, sedangkan Pandawa bersifat tenang dan selalu bersabar ketika ditindas oleh sepupu mereka. Ayah para Korawa, yaitu Dretarastra, sangat menyayangi putera-puteranya. Hal itu membuat ia sering dihasut oleh iparnya yaitu Sangkuni, beserta putera kesayangannya yaitu Duryodana, agar mau mengizinkannya melakukan rencana jahat menyingkirkan para Pandawa.
Pada suatu ketika, Duryodana mengundang Kunti dan para Pandawa untuk liburan. Di sana mereka menginap di sebuah rumah yang sudah disediakan oleh Duryodana. Pada malam hari, rumah itu dibakar. Namun para Pandawa diselamatkan oleh Bima sehingga mereka tidak terbakar hidup-hidup dalam rumah tersebut. Usai menyelamatkan diri, Pandawa dan Kunti masuk hutan. Di hutan tersebut Bima bertemu dengan rakshasa Hidimba dan membunuhnya, lalu menikahi adiknya, yaitu rakshasi Hidimbi. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca.
Setelah melewati hutan rimba, Pandawa melewati Kerajaan Panchala. Di sana tersiar kabar bahwa Raja Drupada menyelenggarakan sayembara memperebutkan Dewi Dropadi. Karna mengikuti sayembara tersebut, tetapi ditolak oleh Dropadi. Pandawa pun turut serta menghadiri sayembara itu, namun mereka berpakaian seperti kaum brahmana. Arjuna mewakili para Pandawa untuk memenangkan sayembara dan ia berhasil melakukannya. Setelah itu perkelahian terjadi karena para hadirin menggerutu sebab kaum brahmana tidak selayaknya mengikuti sayembara. Pandawa berkelahi kemudian meloloskan diri. sesampainya di rumah, mereka berkata kepada ibunya bahwa mereka datang membawa hasil meminta-minta. Ibu mereka pun menyuruh agar hasil tersebut dibagi rata untuk seluruh saudaranya. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat bahwa anak-anaknya tidak hanya membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Tak pelak lagi, Dropadi menikahi kelima Pandawa.
Permainan dadu
Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna
Agar tidak terjadi pertempuran sengit, Kerajaan Kuru dibagi dua untuk dibagi kepada Pandawa dan Korawa. Korawa memerintah Kerajaan Kuru induk (pusat) dengan ibukota Hastinapura, sementara Pandawa memerintah Kerajaan Kurujanggala dengan ibukota Indraprastha. Baik Hastinapura maupun Indraprastha memiliki istana megah, dan di sanalah Duryodana tercebur ke dalam kolam yang ia kira sebagai lantai, sehingga dirinya menjadi bahan ejekan bagi Dropadi. Hal tersebut membuatnya bertambah marah kepada para Pandawa.
Untuk merebut kekayaan dan kerajaan Yudistira secara perlahan namun pasti, Duryodana mengundang Yudistira untuk main dadu dengan taruhan harta dan kerajaan. Yudistira yang gemar main dadu tidka menolak undangan tersebut dan bersedia datang ke Hastinapura dengan harapan dapat merebut harta dan istana milik Duryodana. Pada saat permainan dadu, Duryodana diwakili oleh Sangkuni yang memiliki kesaktian untuk berbuat curang. Satu persatu kekayaan Yudistira jatuh ke tangan Duryodana, termasuk saudara dan istrinya sendiri. Dalam peristiwa tersebut, pakaian Dropadi berusaha ditarik oleh Dursasana karena sudah menjadi harta Duryodana sejak Yudistira kalah main dadu, namun usaha tersebut tidak berhasil berkat pertolongan gaib dari Sri Kresna. Karena istrinya dihina, Bima bersumpah akan membunuh Dursasana dan meminum darahnya kelak. Setelah mengucapkan sumpah tersebut, Dretarastra merasa bahwa malapetaka akan menimpa keturunannya, maka ia mengembalikan segala harta Yudistira yang dijadikan taruhan.
Duryodana yang merasa kecewa karena Dretarastra telah mengembalikan semua harta yang sebenarnya akan menjadi miliknya, menyelenggarakan permainan dadu untuk yang kedua kalinya. Kali ini, siapa yang kalah harus menyerahkan kerajaan dan mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, setelah itu hidup dalam masa penyamaran selama setahun, dan setelah itu berhak kembali lagi ke kerajaannya. Untuk yang kedua kalinya, Yudistira mengikuti permainan tersebut dan sekali lagi ia kalah. Karena kekalahan tersebut, Pandawa terpaksa meninggalkan kerajaan mereka selama 12 tahun dan hidup dalam masa penyamaran selama setahun.
Setelah masa pengasingan habis dan sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa berhak untuk mengambil alih kembali kerajaan yang dipimpin Duryodana. Namun Duryodana bersifat jahat. Ia tidak mau menyerahkan kerajaan kepada Pandawa, walau seluas ujung jarum pun. Hal itu membuat kesabaran Pandawa habis. Misi damai dilakukan oleh Sri Kresna, namun berkali-kali gagal. Akhirnya, pertempuran tidak dapat dielakkan lagi.
Pertempuran di Kurukshetra
Suasana menjelang perang di "Medan Kuru" atau daratan Kurukshetra di Haryana, India Utara
Pandawa berusaha mencari sekutu dan ia mendapat bantuan pasukan dari Kerajaan Kekaya, Kerajaan Matsya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan Magadha, Wangsa Yadawa, Kerajaan Dwaraka, dan masih banyak lagi. Selain itu para ksatria besar di Bharatawarsha seperti misalnya Drupada, Satyaki, Drestadyumna, Srikandi, Wirata, dan lain-lain ikut memihak Pandawa. Sementara itu Duryodana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Korawa sekaligus mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Korawa dibantu oleh Resi Drona dan putranya Aswatama, kakak ipar para Korawa yaitu Jayadrata, serta guru Krepa, Kretawarma, Salya, Sudaksina, Burisrawas, Bahlika, Sangkuni, Karna, dan masih banyak lagi.
Pertempuran berlangsung selama 18 hari penuh. Dalam pertempuran itu, banyak ksatria yang gugur, seperti misalnya Abimanyu, Drona, Karna, Bisma, Gatotkaca, Irawan, Raja Wirata dan puteranya, Bhagadatta, Susharma, Sangkuni, dan masih banyak lagi. Selama 18 hari tersebut dipenuhi oleh pertumpahan darah dan pembantaian yang mengenaskan. Pada akhir hari kedelapan belas, hanya sepuluh ksatria yang bertahan hidup dari pertempuran, mereka adalah: Lima Pandawa, Yuyutsu, Satyaki, Aswatama, Krepa dan Kretawarma.
Penerus Wangsa Kuru
Setelah perang berakhir, Yudistira dinobatkan sebagai Raja Hastinapura. Setelah memerintah selama beberapa lama, ia menyerahkan tahta kepada cucu Arjuna, yaitu Parikesit. Kemudian, Yudistira bersama Pandawa dan Dropadi mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka. Di sana mereka meninggal dan mencapai surga. Parikesit memerintah Kerajaan Kuru dengan adil dan bijaksana. Ia menikahi Madrawati dan memiliki putera bernama Janamejaya. Janamejaya menikahi Wapushtama (Bhamustiman) dan memiliki putera bernama Satanika. Satanika berputera Aswamedhadatta. Aswamedhadatta dan keturunannya kemudian memimpin Kerajaan Wangsa Kuru di Hastinapura.
No comments:
Post a Comment