Disana latar belakang hidup mereka terseok-seok lantaran siksaan masalah ekonomi. Dan cungkok tak selalu bisa diajak kencan, ada juga yang lurus. Bagaimana kehidupan mereka diluar club? Bagaimana kehidupan mereka dikontrakannya?
Sekumpulan lelaki pemburu kehidupan malam plus-plus, malam itu datang ke sebuah club raksasa di Kota, Jakarta Barat. Mereka bertujuh, semuanya lelaki keturunan China. Usianya berkisar 30 tahunan keatas.
Dalam perbincangan diantara mereka, tertangkap bahwa mereka sedang membicarakan cungkok. Intinya memperbincangkan pesona cungkok, dan kini mereka sedang ‘memburunya’ –entah untuk keberapa kali mereka ‘berburu’. Karena dalam pembicaraan juga tertangkap, masing-masing saling tukar pengalaman saat kencan dengan cungkok di minggu-minggu sebelumnya.
Cungkok memang pesona tersendiri bagi sebagian besar tamu yang menyambangi hedonis yang menyediakan cungkok. Mereka umumnya berkulit putih, itu pasti. Rata-rata tubuhnya jangkung, dan body-nya oke-oke banget, maklum rata-rata mereka masih sangat belia.
Dandanan tak kalah dengan bintang film Hongkong, Korea atau Taiwan. Wangi. Dan mereka selalu berpakaian minim sekali, bahkan tak jarang cungkok di club hanya mengenakan swimsuit, dengan pinggang hanya dililit selendang pendek. Tamu club mana yang tidak tergiur melihat mereka sliweran di depannya sambil sesekali memandang nakal dan menggoda kepada tamu?
Benarkah para cungkok itu seindah penampilan mereka? Sewangi aroma tubuh mereka? Ternyata tidak. Menurut seorang koordinator cungkok di Jakarta, orang yang biasa mengurus cungkok mulai datang dari airport hingga diberikan penginapan, cungkok-cungkok tak seindah penampilannya. “Mereka itu jorok, dan sulit sekali diaturnya,” tutur koordinator tersebut, sebut saja Roni –lelaki keturunan berusia 40 tahunan, asal Tangerang.
Lanjut Roni, memang ada beberapa cungkok yang sudah pintar karena mereka sebelumnya sudah berada di negara-negara diluar negaranya sebelum ke Indonesia. Tapi yang CTL (cungkok tembak langsung) yang langsung datang ke Indonesia, suka membuat mampet lobang air kamar mandi. “Mereka sudah dibilang, kalau habis pakai shampo sachet, jangan dibuang ke lobang air, tapi tetap saja mereka bandel. Ujung – ujungnya lobang air mampet,” tutur Roni.
Itu karena mereka datang dari sebuah latar belakang kemiskinan, sehingga jauh dari perangkat modern. Di Jakarta mereka biasanya ditempatkan disebuah rumah kontrakan ramai-ramai sesama cungkok. Letaknya tak jauh dari Kota, Pluit, Grogol. Maklum kawasan mereka operasi berada di kawasan-kawasan tersebut.
Ada juga yang ditempatkan di apartemen. Dan tinggal di apartemen, buat mereka sesuatu yang betul-betul baru. “Pada mulanya membuka lift mereka harus dibantu.
Belum bicara perlengkapan apartemen berteknologi tinggi, seperti bathtub, shower, rice cooker, blender, harus diajari dengan intensif. Dulu ada cungkok yang tangannya tersiram air panas dari bathtub, ruwet, deh, masalahnya. Yang jelas ia rugi karena tak bisa kerja selama tangannya terluka,” tutur Roni.
Roni yang sudah banyak pengalaman mengajari cungkok, dan sedikit banyak bisa berkomunikasi dengan cungkok, di sisi lain bercerita, “Kalau sempat mengobrol dengan mereka di waktu santai, mereka itu sebetulnya menderita. Mereka mengeluhkan keadaan diri mereka, yang harus terbang menuju ke negeri asing, bekerja seperti itu. Kasihan, lho,” kata Roni.
Ketika ditanya, bagaimana penghasilan mereka, Roni tak bisa menjawab. “Wah, itu saya tak tahu. Saya hanya mengurusnya,” tutur bapak dari dua orang anak ini.
Menurut sumber yang dihimpun POPULAR, para cungkok itu sekali menerima tamu menerima bersih penghasilan Rp.300 ribu. Itu sudah dipotong biaya kontrakan, uang kamar, dana mendatangkan mereka, membelikan baju. Jumlah yang kecil, mengingat mereka setiap menerima tamu dihargai Rp.1.400.000,- harga yang sangat tinggi untuk ukuran penjaja wanita club malam Kota.
Bagi petualang nafsu hedonis, tingginya harga yang mesti dibayarkan untuk menikmati tubuh cungkok bukan hal yang mengagetkan lagi. Semenjak kehadiran mereka dalam kancah bisnis hedonis, khususnya di Jakarta, kurang lebih empat tahun lalu, tarif cungkok relatif turun.
Kendati demikian, kualitas cungkok justru tidak turun. Bahkan, secara kuantitas, para penikmat justru mendapat banyak pilihan. Bukan hanya jumlah mereka yang bertambah, penyebarannya pun semakin luas. Saat ini di Jakarta saja semakin banyak klub-klub hedonis yang menjual jasa mereka.
Jenis profesi yang digeluti cungkok ini pun mulai beragam, tak melulu sebagai pemuas nafsu purbawi semata. Profesi di luar pemuas nafsu yang terakhir didatangkan adalah sebagai terapis atau pemijat di sejumlah pusat kebugaran atau spa. Melengkapi profesi sebagai penyanyi dan penari yang juga tidak terang-terangan sebagai pemuas nafsu.
Menarik untuk disimak, khususnya cungkok yang berprofesi sebagai terapis, ternyata tak semuanya berperilaku hedonis. Cungkok ini benar-benar melakukan tugasnya sesuai dengan jenis pekerjaan dan kewajaran. Adalah Dedi dan Edu, kata panggil saja dua kawan akrab sesama petualang hedonis ini dengan sebutan itu, sama-sama mengalami peristiwa yang membuat mereka seolah tak percaya. Antara mau marah, kecewa, kesal dan frustrasi.
Semua bermula pada sebuah senja seusai bertemu klien di daerah Ancol. Dua sohib ini memutuskan melakukan relaksasi di sebuah spa yang berada di sebuah kawasan pusat perbelanjaan ternama tak jauh dari Ancol.
Usai memarkirkan kendaraan di parkiran basement keduanya langsung menuju lift yang menghantarkan mereka ke lantai tempat spa berada. Di dalam lift sempat terjadi obrolan tentang sejumlah ‘nomor cantik’ dengan seorang security. Maksudnya tentu nomor sebagai penanda wanita-wanita terapis yang bertugas di sana.
Istilah ‘nomor cantik’ merupakan sebutan bagi mereka yang mampu memberi servis bagus, baik wanita lokal maupun cungkok. Tidak jelas betul dari mana sang security tahu kelebihan seorang terapis.
Yang pasti, dalam obrolan singkat itu dia sempat menyebut sejumlah nomor untuk cungkok dan wanita lokal. Hanya saja saat Dedi bertanya mengenai servis bagus yang dimaksud, sang security hanya mengatakan, “Pokoknya top deh bos”, sambil memberi isyarat minta rokok. Sayang, ketika Edu hendak memperjelas, mereka telah sampai di lantai yang dimaksud dan harus segera keluar.
Berbekal informasi nomor yang diberikan security dalam lift tadi, wiraswastawan di bidang percetakan ini akhirnya mencoba menjajal keuntungan. Hanya saja dari beberapa nomor cungkok yang disebutkan hanya tiga yang mereka ingat.
Sayangnya, ketiga cungkok pemilik nomor tersebut baru saja ‘naik’, istilah yang menunjukkan mereka sedang melayani tamu. Akhirnya, keduanya hanya mencoba memilih sendiri nomor yang tersedia setelah meminta rekomendasi kepada resepsionis dan GRO.
“Jangankan mendapat servis ekstra, cungkok terapis itu malah melarang gue melepas seluruh pakaian. Memang, pijatannya bikin badan berasa lebih enak, tapi yang kita cari bukan hanya itu, kan?” sungut Dedi kesal.
“Terapis gue juga begitu, akhirnya gue minta ganti yang lain. Apa yang gue inginkan dapat,” papar Edu.
LURUS. Pengalaman dua sekawan ini mungkin dapat membuka mata para pelanggan spa. Ternyata tidak semua terapis asal China mau melakukan aktifitas beraroma hedonis.
MERCY. Salah satu faktor krusial yang membuat cungkok terkenal dan begitu diminati tak lain karena service-nya. Mereka dikenal dengan layanan yang sangat memuaskan.
Pola Perjalanan Para Cungkok.Wanita penghibur asal China alias cungkok mulanya berlatar belakang white slavery. Umumnya diambil dari wilayah minus seperti Yunnan, Sichuan dan Guizhou.
Sembilan perempuan asing diciduk Satuan Pidana Tertentu (Satpidter) Ditreskrim Polda Jatim, dari panti pijat Gandaria Jl Embong Malang 77, Surabaya, Rabu (4/6) petang. Mereka yang diimpor langsung dari Tiongkok ini, dipekerjakan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) atau cungkok dengan tarif rata-rata Rp 1,5 juta/jam.
Keberadaan PSK kelas atas ini ditengarai sudah berlangsung beberapa bulan. Yang membuat mereka tersandung perkara dan harus berurusan dengan polisi adalah penyalahgunaan dokumen keimigrasian.
Kepala Satuan Pidana Tertentu (Kasat Pidter) Ditreskrim Polda Jatim, AKBP Hendra S didampingi Kasubbid Publikasi Humas AKBP Suhartoyo menjelaskan, dalam visa yang dimiliki perempuan asing itu, adalah untuk kunjungan wisata. “Nyatanya mereka bekerja. Ini penyalahgunaan dokumen keimigrasian,” ujar Hendra, Kamis (5/6).
Wanita muda yang digiring ke Mapolda Jatim itu adalah Mei Zhen, 18, Xu Yue Mei, 19, Wan Qiong, 19, Fang Xuan, 19, Peng Jialin, 18, Liu Cai Liang, 20 dan Lin Xue, 20. Barang bukti yang disita adalah sembilan paspor dan surat tanda melapor yang dikeluarkan imigrasi.
Para wanita asing itu dijerat pasal 13/2003 tentang Ketenagakerjaan serta pasal 50 UU 09/92 tentang Keimigrasian. Dalam undang-undang itu secara tegas mengatur orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan pemberian izin keimigrasian yang diberikan.
Atas penggerebekan itu, apakah panti pijat Gandaria juga disegel? Menurut Hendra, dalam perkara ini polisi hanya menangani masalah penyalahgunaan dokumen keimigrasian warga asing. Soal penyalahgunaan izin usaha yang dimiliki Gandaria, bukan menjadi wewenangnya.
Penggerebekan ini berawal dari informasi yang diterima polisi dari Kantor Imigrasi Kelas I Surabaya, adanya dugaan penyalahgunaan dokumen keimigrasian. “Saat kita geledah, ternyata mereka hanya menggunakan visa kunjungan, bukan visa kerja,” tandas Hendra.
Kedatangan mereka ke Surabaya, katanya, melalui seorang pengusaha yang selama ini menjadi pemasok cungkok. Saat digelandang ke Mapolda Jatim, para cungkok ini sempat ngamuk ke petugas. Meja dan kursi yang ada di ruang penyidik, ditendang. Begitu juga sejumlah barang yang ada di meja penyidik, dilempari.
Sikap tak bersahabat ini terus berlanjut saat proses penyidikan berlangsung. Layaknya di warung kopi, kaki panda impor ini naik ke kursi ruang penyidik. “Waduh, susah. Nggak punya aturan blas. Bolak-balik saya bentak karena kakinya naik ke kursi,” ujar seorang penyidik.
Mereka kembali mengamuk saat fotografer dan kameramen televise mengambil gambar di ruang penyidikan. Beberapa barang yang ada di dekatnya, dilempar ke kaca ruang penyidik. “Sudah, sudah..nanti aja diambil gambarnya di bawah. Sebentar lagi mau dibawa ke imigrasi,” ujar AKBP Suhartoyo, Kasubid Publikasi Humas Polda Jatim.
Rupanya mereka tahu fotografer dan kameramen televisi masih menunggu di bawah. Cungkok ini enggan turun dari lantai dua ruang Satpidter, menuju mobil yang sudah menunggu. Dari rencana evakuasi ke Kantor Imigrasi Kelas I Surabaya di Waru pukul 13.30 WIB, mereka baru mau turun sekitar pukul 15.50 WIB, dengan kepala terbungkus plastik atau tertutup kertas. Saat tahu wartawan masih menunggu, mereka berteriak marah dan mengejar.
Paska penangkapan tersebut, Pemkot Surabaya langsung bersikap. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) dan Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbang Linmas) menyatakan, pemkot tidak pernah mengeluarkan izin praktik lokalisasi untuk Gandaria.
Namun hanya izin panti pijat. Selain itu, memperkerjakan warga asing juga harus mendapat surat keterangan dari Disnaker. “Disbudpar dan Disparta mengkaji untuk mencabut izin tersebut,” kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemkot Surabaya, Hari Tjahjono
Keberadaan PSK kelas atas ini ditengarai sudah berlangsung beberapa bulan. Yang membuat mereka tersandung perkara dan harus berurusan dengan polisi adalah penyalahgunaan dokumen keimigrasian.
Kepala Satuan Pidana Tertentu (Kasat Pidter) Ditreskrim Polda Jatim, AKBP Hendra S didampingi Kasubbid Publikasi Humas AKBP Suhartoyo menjelaskan, dalam visa yang dimiliki perempuan asing itu, adalah untuk kunjungan wisata. “Nyatanya mereka bekerja. Ini penyalahgunaan dokumen keimigrasian,” ujar Hendra, Kamis (5/6).
Wanita muda yang digiring ke Mapolda Jatim itu adalah Mei Zhen, 18, Xu Yue Mei, 19, Wan Qiong, 19, Fang Xuan, 19, Peng Jialin, 18, Liu Cai Liang, 20 dan Lin Xue, 20. Barang bukti yang disita adalah sembilan paspor dan surat tanda melapor yang dikeluarkan imigrasi.
Para wanita asing itu dijerat pasal 13/2003 tentang Ketenagakerjaan serta pasal 50 UU 09/92 tentang Keimigrasian. Dalam undang-undang itu secara tegas mengatur orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan pemberian izin keimigrasian yang diberikan.
Atas penggerebekan itu, apakah panti pijat Gandaria juga disegel? Menurut Hendra, dalam perkara ini polisi hanya menangani masalah penyalahgunaan dokumen keimigrasian warga asing. Soal penyalahgunaan izin usaha yang dimiliki Gandaria, bukan menjadi wewenangnya.
Penggerebekan ini berawal dari informasi yang diterima polisi dari Kantor Imigrasi Kelas I Surabaya, adanya dugaan penyalahgunaan dokumen keimigrasian. “Saat kita geledah, ternyata mereka hanya menggunakan visa kunjungan, bukan visa kerja,” tandas Hendra.
Kedatangan mereka ke Surabaya, katanya, melalui seorang pengusaha yang selama ini menjadi pemasok cungkok. Saat digelandang ke Mapolda Jatim, para cungkok ini sempat ngamuk ke petugas. Meja dan kursi yang ada di ruang penyidik, ditendang. Begitu juga sejumlah barang yang ada di meja penyidik, dilempari.
Sikap tak bersahabat ini terus berlanjut saat proses penyidikan berlangsung. Layaknya di warung kopi, kaki panda impor ini naik ke kursi ruang penyidik. “Waduh, susah. Nggak punya aturan blas. Bolak-balik saya bentak karena kakinya naik ke kursi,” ujar seorang penyidik.
Mereka kembali mengamuk saat fotografer dan kameramen televise mengambil gambar di ruang penyidikan. Beberapa barang yang ada di dekatnya, dilempar ke kaca ruang penyidik. “Sudah, sudah..nanti aja diambil gambarnya di bawah. Sebentar lagi mau dibawa ke imigrasi,” ujar AKBP Suhartoyo, Kasubid Publikasi Humas Polda Jatim.
Rupanya mereka tahu fotografer dan kameramen televisi masih menunggu di bawah. Cungkok ini enggan turun dari lantai dua ruang Satpidter, menuju mobil yang sudah menunggu. Dari rencana evakuasi ke Kantor Imigrasi Kelas I Surabaya di Waru pukul 13.30 WIB, mereka baru mau turun sekitar pukul 15.50 WIB, dengan kepala terbungkus plastik atau tertutup kertas. Saat tahu wartawan masih menunggu, mereka berteriak marah dan mengejar.
Paska penangkapan tersebut, Pemkot Surabaya langsung bersikap. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) dan Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbang Linmas) menyatakan, pemkot tidak pernah mengeluarkan izin praktik lokalisasi untuk Gandaria.
Namun hanya izin panti pijat. Selain itu, memperkerjakan warga asing juga harus mendapat surat keterangan dari Disnaker. “Disbudpar dan Disparta mengkaji untuk mencabut izin tersebut,” kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemkot Surabaya, Hari Tjahjono
No comments:
Post a Comment