Kabar itu menghebohkan Ibu Kota, April lalu. Namun ada yang tidak
percaya pada kejadian itu. "Saya tidak percaya, karena tiang pancang
Gedung Sarinah sampai menembus lapisan keras," kata Ciputra dalam
diskusi "100 tahun Prof. Dr. Ir. Roosseno" di Fakultas Teknik
Universitas Indonesia, 2 Agustus lalu.
Roosseno adalah perancang
konstruksi Gedung Sarinah, yang dibangun pada 1962. Roosseno, yang
dikenal sebagai "Bapak Beton Indonesia", adalah guru Pak Ci --demikian
taipan properti Ciputra biasa dipanggil-- di Institut Teknologi Bandung.
Pak Ci juga ikut serta ketika negosiasi pembangunan Gedung Sarinah
dengan pihak Jepang.
Gedung 20 lantai di Jalan M.H. Thamrin,
Jakarta Pusat, itu dibiayai dengan uang pampasan perang. Sarinah menjadi
gedung tertinggi di Jakarta ketika itu. Karena struktur tanah di
sepanjang Jalan Thamrin-Sudirman lembek, Roosseno --yang mewakili pihak
Indonesia-- mengajukan rancangan pembangunan dengan tiang pancang hingga
ke lapisan keras.
"Pemerintah Jepang yang tidak memiliki
pengalaman dengan tanah lembek menolak itu," tutur Pak Ci. Namun
Roosseno kukuh dengan pendapatnya, disertai dengan alasan yang logis.
"Setiap malam, di hotel, Pak Roosseno membuat perhitungan-perhitungan
untuk meyakinkan pihak Jepang," katanya. Akibat ke-ngotot-an Roosseno,
negosiasi yang dijadwalkan hanya dua minggu molor menjadi sebulan.
Pihak
Jepang meragukan rancangan Roosseno. Jepang juga mengkhawatirkan
struktur bangunan itu tidak tahan lama. "Pak Roosseno menegaskan, kalau
ada kegagalan, bukan pihak Jepang yang salah. Sayalah yang harus
digantung!" Pak Ci menceritakan. Akhirnya pihak Jepang meluluskan konsep
rancangan yang diajukan Roosseno.
Setelah 46 tahun Sarinah
menggapai langit, tiba-tiba muncul pemberitaan bahwa gedung bikinan
Roosseno itu miring. Penyebabnya, menurut penelitian Dinas Penataan dan
Pengawasan Bangunan DKI Jakarta, adalah penyedotan air tanah yang tidak
terkendali dan beban gedung. Hari Sasongko, Kepala Dinas Penataan,
menyatakan bahwa pusat perbelanjaan itu masih aman digunakan. "Walaupun
umurnya lama, seumur itu juga seiring dengan penurunan tanah. Jadi,
tidak terlalu membahayakan," katanya.
Namun Hari Mulyawan,
Direktur Properti Sarinah, membantah terjadinya eksploitasi air yang
berlebihan. Menurut dia, Sarinah selama ini menggunakan air yang dipasok
dari Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya. Bahkan pembayaran per bulannya
mencapai Rp 150 juta.
Untuk mengantisipasi segala kemungkinan,
konsultan struktur Gedung Sarinah, PT Decon, memasang alat monometer.
Alat itu untuk mengetahui perilaku tanah dan penurunan tanah. Mardiyana
Dauwed, dari PT Decon, menjelaskan bahwa penurunan tanah tidak terjadi
di gedung utama Sarinah. Anjlokan terjadi di sekitar Gedung Sarinah,
yaitu di lahan parkir dan di gerai ATM yang dibongkar beberapa waktu
lalu.
Mardiyana menjelaskan, bangunan gerai ATM yang miring
secara konstruksi terpisah dari gedung utama. Bangunan itu baru berdiri
sekitar lima tahun lalu. Dan bangunan itu memang sangat berat dengan
fondasi hanya berupa beton.
Penjelasan Mardiyana itu memperkuat
keyakinan Pak Ci bahwa Gedung Sarinah tidak mungkin ambles. Sebab yang
membangun konstruksinya adalah Roosseno, dengan tiang pancang yang
menembus hingga lapisan keras. Untuk menggapai lapisan keras, tiang
pancang bisa menembus hingga 50 meter. Jadi, fondasinya lebih panjang
daripada gedungnya. Dengan konstruksi demikian, tingkat ketahanan gedung
akan terjamin. "Saya tidak percaya Sarinah ambles," kata Pak Ci.
"Bukan
main!" Emil Salim mengenang. "Profesor Roosseno membangun Sarinah di
atas sebuah sungai purba. Alangkah sulitnya," katanya. Dahulu kawasan
Sarinah memang berupa empang, dengan tanahnya yang lembek. Sehingga
pembangunan gedung 20 lantai menumpang di tanah becek itu cukup berani.
Untuk
menyokong bangunan yang berat, digunakanlah tiang pancang yang
menghunjam hingga lapisan keras. Tentu biaya untuk membangun tiang
pancang yang sedemikian dalam cukup besar. Lantas, apa koreksi Roosseno
terhadap itu? Menurut Wiratman Wangsadinata, guru besar emeritus
Universitas Tarumanagara, untuk menghindari tiang panjang yang terlalu
dalam, Roosseno menggunakan tiang pancang dengan kerah.
"Koreksi
Roosseno dengan membuat kerah pada tiang pancang, sehingga tiang pancang
tidak usah terlalu dalam," ujarnya. Tiang pancang sistem Roosseno
adalah tiang pancang segi empat yang diberi kerah persegi. Kerah itu
digunakan untuk memperkuat daya dukungnya. Keaslian kerah sistem
Roosseno terletak pada kerah yang semakin ke atas makin lebar.
Ini
merupakan koreksi "tiang Takechi", yang ukuran kerahnya pada tiang sama
besar. Sehingga daya dukung pada tiang hanya didapat pada kerah
pertama. Kerah berikutnya tidak ada manfaatnya. Maka, Roosseno
mengajukan konsep kerah yang semakin lebar.
Kerah akan
memampatkan tanah ketika dihunjamkan. Kerah pertama menyisakan ruang
kosong, yang akan diisi dengan tanah yang didorong kerah kedua yang
lebih lebar. Setelah pemancangan selesai, ruang kosong yang tersisa
akibat kerah terakhir diisi secara berangsur-angsur secara alami.
Pemasangan kerah untuk satu tiang pancang biasanya dua unit.
Bangunan
yang menggunakan tiang pancang dengan kerah sistem Roosseno antara lain
Gedung Jaya, Gedung Kedutaan Prancis, dan Jembatan Air Komering di
Sumatera. Bangunan-bangunan itu masih kokoh hingga sekarang.
Terobosan
lain yang dilakukan Roosseno untuk tiang pancang pada tanah lembek
adalah sambungan tiang pancang sistem Roosseno. Sambungan tiang pancang
sistem Roosseno terdiri dari beronjong empat baja siku yang menggenggam
empat sudut sambungan. Keempat baja siku itu disambung dengan pelat baja
yang dilas.
Karena sambungan tidak tahan lentur, maka letaknya
harus serendah mungkin. Setidaknya di bawah pertengahan seluruh tiang.
Juga harus memperhatikan bahwa sambungan itu tidak mendapat tekanan
mendatar akibat gerakan tanah, air tanah tidak korosif, dan tidak
dipakai pada daerah gempa. Sambungan tiang pancang sistem Roosseno sudah
dipakai di Jakarta. Misalnya pada fondasi Bangkok Bank Building,
Siemens Building, dan Gedung Migas.
Itulah sedikit dari banyak
sumbangan Roosseno dalam struktur bangunan di Indonesia. Seperti fondasi
untuk Candi Borobudur yang tahan 1.000 tahun. Ketika gempa Yogya
menerpa, candi Buddha itu tetap tegar. Juga fondasi untuk Masjid
Istiqlal, Tugu Monas, dan Tugu Selamat Datang.
Rohmat Haryadi
No comments:
Post a Comment