Thursday, November 22, 2012

RUU Pornografi Indonesia = Arabisasi?

 Hidayat Nur Wahid dan RUU Pornografi

Boleh saja Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan, bahwa RUU Pornografi tidak akan mengarabkan Indonesia atau berkaitan dengan agama tertentu. Namun setelah mencermati RUU Pornografi tersebut secara komprehensif ditemukan cara pandang dari budaya Arab.

Agama Islam sebagaimana kita ketahui adalah merupakan rahmatan lil alamin, rahmat untuk alam semesta. Dan nilai-nilai universal Islam tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal agama manapun.

Pertentangan antar agama terjadi akibat dari cara pandang kita yang kurang mampu untuk melihat sesuatu dari segala sisi. Pertentangan terjadi akibat dari cara pandang kita yang cenderung hanya dari satu sisi.

Kembali kepada RUU Pornografi yang jelas-jelas menggunakan terminologi nilai-nilai budaya Arab dimana perempuan dianggap mahluk penggoda sehingga harus dikurung. Malah perempuan dianggap biang dari berbagai masalah.

Kita lupa kata Nabi yang kita muliakan yang mengatakan bahwa "sorga ada di telapak kaki ibu". Itu artinya apa? Jelas sekali Nabi mengajarkan kita untuk melawan budaya Arab yang merendahkan martabat perempuan.

Menolak RUU Pornografi bukan berarti setuju dengan Pornografi. Pornografi jelas harus ditolak. Namun penolakan kita harus dengan menggunakan cara pandang yang masuk akal dan sesuai dengan budaya kita, budaya Indonesia. Dan untuk itu sudah ada berbagai

UU yang mengaturnya dan jika UU ini dianggap belum bisa mengatasi persoalan maka perbaikilah UUnya.

Dari prosesnya RUU Pornografi ini sudah tidak mengikuti aturan-aturan yang ada dan bahkan ada pemalsuan tanda-tangan, bagaimana RUU ini akan mampu menyelesaikan masalah.

Bagaimana RUU yang katanya ingin memperbaiki moral malah cacat moral. Dari sisi prosesnya saja sudah tidak bermoral apalagi isinya.

Pansus dengan para pendukung RUU Pornografi ini boleh saja mengatakan bahwa di alam demokrasi suara terbanyaklah yang menentukan. Tapi Pansus dan para pendukungnya lupa bahwa di alam demokrasi ada ketentuan yang mengatakan bahwa mayoritas tidak boleh meniadakan hak-hak minoritas. Itu kalau kita berbicara demokrasi yang bermoral dan beretika.

Dari subtansi, RUU Pornografi juga bermasalah karena memberikan pengecualian. Padahal UU yang bermoral dan beretika tidak boleh ada pengecualian. Pengecualian itu merupakan penghinaan terhadap kelompok-kelompok yang dikecualikan, bukan penghormatan.

Rupanya kekacauan pikiran telah merasuki seluruh lapisan Pansus RUU Pornografi serta pendukungnya. Akibat ketidakmampuan mengendalikan diri maka orang lain yang disalahkan.

Akibat ketiakmampuan menjaga kesehatan maka penyakit yang disalahkan, padahal cara hidup kita yang tidak beres.

Pansus bisa saja melakukan berbagai cara untuk bisa mengesahkan RUU Pornografi ini, tapi jangan lupa adagium dalam dunia politik bahwa "semua orang bisa dibohongi untuk suatu saat tertentu, atau sekelompok orang bisa dibohongi untuk selama-lamanya, tetapi semua orang tidak bisa dibohongi untuk selama-lamanya".

Pansus serta para anggota DPR, persoalan kita yang sebenarnya adalah akibat dari ketidakmampuan kita mengurus diri kita masing-masing. Kita telah menjadi budak pikiran kita. Kita telah menghamba kepada pikiran bukan kepada Allah.

Bangsa Indonesia telah terjebak dalam formalisasi agama, sehingga keagamaan kita hanya diukur dengan frekwensi keberadaan kita di tempat ibadah, bukan diukur dari perilaku kita sehari-hari sesuai dengan pekerjaan kita masing-masing.

Kita sudah menuju kemusyrikan karena menduakan Allah dengan mengatakan bahwa pendapat dan cara pandang kita yang paling benar. Padahal yang berhak menentukan apakah seseorang itu benar atau salah di mata Allah hanyalah Allah itu sendiri.

No comments:

Post a Comment