Ah, terlalu menyitir Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada) barangkali, ya? Tidak masalah, yang penting masih dalam koridor maksud saya menulis tulisan ini. Saya hanya ingin berbagi dengan teman-teman mengenai dunia aktivitas menulis.
Waktu SD, saya sering disuruh mengarang (apalagi jika tugas menulis ini setiap selesai liburan caturwulan). Uh, BT pisan tah. Bagaimana tidak pusing 8 keliling. Pasti judulnya: Berlibur ke rumah nenek, main ke desa, bermain bersama teman, liburanku yang berkesan. Nah, kadang seluruh siswa tulisannya sama: Berlibur ke Rumah Nenek. Saya mah bingung, mo gak bingung gimana, wong Neneknya aja dah gak ada saat saya masih orok. Terpaksa saya menulis hal lain, dan itu "malapetaka" karena saya tidak semazhab dengan tulisan teman-teman. Barangkali buat sang guru tercinta, biar bisa dipukul rata saat memeriksa tugas mengarang dan urusan selesai! Inilah yang membedakan perjuangan bahwa menulis itu adalah: kebebasan individu.
***
Saya baru tersadar bahwa arah pemikiran di sekeliling seakan dogmatis: apa untungnya dari menulis? Fuih! Susah dijelaskan. Barangkali bangsa kita masih belum menyadari bahwa tulisan adalah pelecut peradaban manusia. Apalagi sudut pandang bagi penulis: harus intelek, kutubuku, dan tetek bengek lainnya. Bisa-bisa bengek kalau kita lagi berjuang menulis mah.
Saya tidak akan neko-neko menjelaskan pertanyaan di atas. Menulis adalah aktivitas yang merangsang pemikiran dan pembaruan hal-hal yang selama ini jadi pertanyaan saya. Memang, awalnya sangat susah bangets pisan sekali. Untuk menggerakkan pena atau memijit tuts keyboard, seperti di-Ospek oleh kekuatan tak berbentuk. Entah apa yang dirasakan: bingung memulai, ingin tulisan seperti si pengarang ini, saat menulis gak puguh ujungnya, malah yang lebih parah: mentok sama sekali! Akhirnya? Kata kunci yang saya dapatkan: JANGAN MENYERAH! Kalau mengambil kata penyair Widji Tukul mah: Hanya ada satu kata: lawan!
***
Ada beberapa tips yang dapat bagikan kepada teman-teman yang punya niat atau sedang mengembangkan menulis:
1. Jangan percaya bahwa mood itu jadi loncatan pertama. Kadang ide sangat susah kita dapatkan. Itu sih aliran zaman Fir'aun manjat Piramida. Sebenarnya, ide itu sendiri bertebaran dan kita jadi susah mengendalikannya. Bohong, jika orang susah mencari ide. Selama ada jiwa dan otak, ide itu selalu hadir. Masalahnya, kapan kita bisa mengendalikan dan dengan sabar memilih dan memilah ide terbaik yang dapat kita jadikan tulisan.
2. Mulailah menulis dengan apa yang terlintas dalam pikiran kita. Rekan-rekan dapat belajar dengan menulis buku harian, misalnya. Di sana tuliskan saja apa yang kita alami seharian. Moga-moga kita dapat ide untuk mengembangkan tulisan. Kalaupun tidak, ya jangan terlalu dipaksakan. Diamkan sampai kita agak tenang. Kita nulis lagi apa yang menarik hari ini. Walaupun enggak, minimal kita telah membuka pencerahan atas hidup yang kita jalani hari ini.
3. Dapatkan masalah dan suasananya. Bukan berarti kita mencari masalah. Intinya, masalah ini yang dapat memancing kita untuk berpikir dan meluangkan waktu untuk memahami keadaan. Sebagai contoh, jika Anda tengah jatuh cinta, minimal kita mengalami pergolakan batin atas apa yang kita harapkan. Makanya, tidak heran jika orang sedang jatuh cinta itu kadang sangat kreatif. Nah, nantinya mungkin bukan masalah cinta saja yang dapat memancing kita lebih kreatif menulis. Mungkin saja kenangan masa lalu, kemiskinan di sekitar kita, atau kekalutan sosial karena efek kenaikan BBM, dsb. Kalau bisa, runtutkan masalah apa saja yang mungkin akan kita bidik. Hal ini nantinya akan jadi ciri khas kita. Misalnya, Pramoedya Ananta Toer itu lihai banget dalam bidikan sejarah dan sosial, Seno Gumira Ajidarma begitu padu mengembangkan tulisan dengan dunia jurnalistik, Danarto yang penuh efek kebatinan, atau Ahmad Tohari yang begitu mengena suasana pedesaan dalam Trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk", dll.
4. Belajarlah dari tulisan orang lain. Kita mungkin dapat meniru penulis kesayangan kita. Namun, kalau untuk pijakan sih gak apa-apa. Bukan berarti kita jadi plagiator (penjiplak). Kita hanya berusaha menemukan bentuk. Pada nantinya, toh kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa tulisan yang kita tulis adalah buah kandung hasil kreativitas sendiri. Itulah mengapa kadang kita sering bertanya: "Mengapa ya si pulan bisa menghasilkan tulisan sebagus itu?". Kenyataannya, tulisan yang Anda baca dan dipuji adalah hasilnya yang 1%. Adapun 99% adalah kristalisasi keringat dan pemikiran di balik itu. Pernahkah Anda membayangka bagaimana JK Rowling menulis Harry Potter setebal itu? Bagaimana cara dia menguasai emosi dari satu alur cerita ke alura cerita yang lain? Apakah dia mendapatkan masalah saat menulis buku novel itu, misalnya sakit perut selama 1 minggu? Sementara para penggemar sudah menunggu, dan dunia tidak mau tahu. Pokoknya Harry Potter edisi selanjutnya harus lebih rame! Inilah hebatnya penulis berkelas. Dia harus memahami kapan pikirannya istirahat dan bergelora kembali.
5. Camkan, bahwa menulis itu adalah kebebasan pribadi. Kadang, kita suka gak percaya diri dengan tulisan yang kita baca. Segala kekalutan kadang menghantui. Padahal, satu karya pun belum juga tuntas untuk dipublikasikan. Jika Anda malu dengan diri sendiri mah, itu tandanya kejiwaan Anda agak bermasalah juga :). Santai saja, "Aku menulis dan tidak ada apa-apa kok!". Saat Anda menulis, bebaskan dan segarkan dunia berpikir Anda. Tutup pintu kamar, bikin minuman kesenangan, putar musik yang Anda sukai. Ini sih tergantung ciri khas masing-masing. Ada pula yang bisa menulis tanpa terganggu situasi di sekeliling. Namun, orang lain harus ngerti bahwa dia sedang nulis dan menuangkan ide. Don't disturb!
6. Jadikan membaca sebagai kebiasaan. Nah, ini hal paling penting. Membaca adalah bahan bakar untuk kita menulis. Apa sebab? Menulis itu perlu pengetahuan yang luas. Ah, sayang jika hal ini kurang dikembangkan. Sementara beragam input sekarang itu sudah banyak, dari mulai buku, tv, vcd, sampai internet sudah merajalela. Coba Anda bayangkan zaman Soekarno muda dulu. Udah mah buku harus ngimpor, tempat membaca agak temaram, sampai penunjang lain belum ada. Tapi mengapa beliau mampu menulis dengan kualitas yang terjaga? Jangan mencari kambing hitam hanya karena budaya membaca kita kurang di zaman sekarang ini. Minimal kita harus tahu informasi yang berkembang setiap hari. Kalaupun tidak bisa, tinggal aja di gua....hehehehe.
7. Jika tulisan sudah selesai, "Tunjukkan!" jangan "Beritahukan". Maksudnya, ya minimal kita kasih orang-orang terdekat kita untuk membaca. Tahapannya sih: Kita menulis -- kita baca kembali dengan persepsi orang lain --edit kembali -- tunjukkan ke orang lain. Nah, catatlah masukan-masukan dari orang lain atas isi tulisan kita. Jika dikritik, anggap saja minum jamu: Pahit duluan tapi akhirnya akan membuat kita tambah segar dalam mengembangkan tulisan selanjutnya. Kalau hanya berkata "Hai, aku punya tulisan lho, tentang ...." Itu sih curhat namanya. Jadi, budaya kita hanya baru bisa bicara. Sementara aspek berbahasa itu: Mendengarkan-Membaca-Berbicara-Menulis. Nah, jangan sampai timpang dong. Buktikan kita bisa! Gunakanlah media yang ada, misalnya majalah dinding, buletin, atau blog pribadi sekalipun.
Ini sih hanya sebagian pengalaman saya dalam menulis. Kalau semua dikeluarkan sih gak cukup satu dua hari tuk menuliskannya. Ada hal penting lainnya, cobalah bergabung dengan komunitas menulis. DI jagad maya, saya lihat sudah banyak yang bikin forum penulisan. Apalagi, buat ngirim ke media/penerbit sangat terbuka dengan jalur e-mail. Situs-situs harian, mingguan, atau penerbit sudah terpampang! Carpe diem...Raihlah kesempatan. Dunia menulis sedang mengarah pada pembentukan babak baru manusia Indonesia. Budaya membaca dan menulis bagi yang melek teknologi internet sudah membumi, tinggal bagaimana Anda mengambil kesempatan itu.
Masalah penghasilan? Jangan takut, dari menulis Anda bisa menciptakan kesempatan sendiri. Bayangkan, hanya dengan duduk dalam beberapa jam, Anda pun dapat meraih apa yang dilakukan orang berdagang dengan berkeliling seharian. Maaf, mungkin ada sebagian dari kita yang menganggap bahwa menulis itu belum ada efek money-nya. Wuih, salah besar. Percayalah, dunia penulisan sedang berkembang pesat! Hanya sayangnya, mungkin kita masih timpang dalam memetakan pikiran bahwa kerja nyari keuntungan itu harus dengan BERGERAK badan. Saat jadi penulis, Anda tengah menjadi produsen sekaligus marketingnya. Semuanya bagaimana Anda sendiri. Anda tinggal menawarkan ke pihak-pihak yang mau menerbitkan. Kalau pusing nyari produser mah, ikuti aja gaya band indie. Cetak sendiri, lalu Anda jual sendiri. Buktinya? Dewi Lestari (Dee) dapat melakukannya dengan Supernova-nya. Bahkan, link menulis pun sekarang mulai dapat tempat di ranah lain, misalnya suksesnya Ayat-Ayat Cinta. Malah Laskah Pelangi-pun dibuat filmnya.
Saya rindu dengan kobaran tulisan. Seperti zaman dulu, seperti Soekarno dan Hatta yang beda faham berpikir, tapi mereka mampu "berseteru" lewat tulisan. Begitu pula Tan Malaka dan kaum penentangnya, toh masih bisa mengadu argumen lewat tulisan. Kaum Islamis dan Nasionalis mampu mengendalikan pikiran lewat tulisan. Namun, sekarang agak sangat jarang saya jumpai para tokoh nasional yang mampu menghadirkan tulisan. Yang ada hanya tulisan pembelaan diri dan lebih menyulut perseteruan karena intrik politik. Saya rindu para penyejuk bangsa dengan tulisan-tulisannya. Bukan kata serapah, bogem mentah, dan aneka kasus karena fallus, gosip, dan hal-hal lainnya yang sangat kurang "bergizi" bagi otak dan pemahaman berpikir. Hakikat sebenarnya, saya memimpikan: Satu orang berseteru dengan orang lain, tapi biarlah karya yang dia tulis dapat berdampingan dalam satu rak buku. Seperti saya di rumah, punya buku LEKRA dengan buku pendukung MANIFES. Kedua buku beda aliran itu "damai" berdampingan, walaupun kenyataan sejarah tidak demikian. Pada akhirnya, pikiran saya sendiri yang "bicara" dan menentukan nilai-nilai sebuah karya dan arti kehidupan. Kita bukan bangsa Bar bar..yang rela melumat kaum manusia sendiri! Masih ada jalan lebih elok dengan berpikir dan bertindak cerdas... salah satunya dengan menulis!
No comments:
Post a Comment